10 Film Horor Klasik yang Dianggap Tidak Layak Tonton saat ini

Membicarakan film horor klasik memang tidak ada habisnya. Pasalnya, film horor klasik terkadang memiliki banyak sekali hal menarik untuk dibahas. Salah satu yang mungkin kalian tidak sangka adalah ada beberapa film horor klasik yang ternyata dianggap tidak layak tonton lagi saat ini.

Alasannya berbeda-beda antara film horor klasik yang satu dengan yang lain. Untuk mengetahui hal tersebut, kita akan membahas beberapa film horor klasik yang tidak layak tonton lagi saat ini. Penasaran apa saja daftarnya? Mari kita ulas.

Film horor klasik selalu punya tempat khusus di hati para penggemarnya. Namun, tidak semua film tersebut bisa ditonton ulang tanpa kontroversi.

Beberapa di antaranya terlalu ekstrem, tidak etis, atau mengandung unsur yang kini dipandang bermasalah secara moral dan hukum. Inilah 10 film horor klasik yang kini dianggap tak layak ditonton lagi karena berbagai alasan, mulai dari kekerasan nyata hingga pelecehan aktor di balik layar.

1. Cannibal Holocaust (1980)

Cannibal Holocaust kerap dianggap sebagai film horor paling kontroversial sepanjang masa. Film ini mengisahkan seorang antropolog yang menemukan rekaman dokumenter dari kru yang hilang di hutan Amazon. Rekaman tersebut memperlihatkan adegan kekejaman terhadap suku asli dan penyiksaan brutal.

Disutradarai oleh Ruggero Deodato, film ini bukan hanya mengangkat format found-footage ke ranah horor, tetapi juga memicu kemarahan global karena menampilkan kekerasan nyata terhadap hewan dan adegan seksual eksplisit.

Yang paling mengejutkan, beberapa hewan benar-benar dibunuh dalam proses syuting, termasuk kura-kura dan monyet. Tidak hanya itu, terdapat tuduhan bahwa aktor asli suku juga mengalami pelecehan. Film ini begitu realistis hingga Deodato harus hadir di pengadilan dan membuktikan bahwa para aktornya masih hidup.

Beberapa pihak bahkan menilai film ini mengandung eksploitasi terhadap anak di bawah umur. Dengan segala kontroversinya, “Cannibal Holocaust” masuk dalam daftar film yang dilarang di berbagai negara, dan banyak kritikus serta penonton sepakat bahwa film ini lebih baik tidak pernah ditonton lagi.

2. The Last House on the Left (1972)

Disutradarai oleh Wes Craven, The Last House on the Left menceritakan dua gadis remaja yang menjadi korban penyiksaan dan pembunuhan oleh sekelompok kriminal.

Setelah kejadian tragis itu, para pelaku tanpa sadar menginap di rumah orang tua korban, yang kemudian membalas dendam secara brutal. Film ini merupakan awal dari subgenre rape-revenge, yang sejak awal sudah menuai banyak kritik karena mengeksploitasi trauma seksual.

Meski menjadi tonggak karier bagi Craven, film ini dikenal sangat mengganggu secara emosional dan moral. Adegan kekerasan seksualnya sangat grafis dan dianggap tidak perlu, bahkan saat film ini dirilis pun banyak penonton pingsan atau keluar dari bioskop.

Film ini dijual dengan tagline “Just keep repeating to yourself: it’s only a movie…” yang sengaja memanfaatkan reaksi penonton terhadap kekerasannya. Banyak kritikus modern sepakat bahwa tak ada alasan untuk menonton ulang film ini, kecuali jika ingin memahami bagaimana sinema bisa melukai penontonnya, bukan menghibur.

3. The Birds (1963)

The Birds karya Alfred Hitchcock awalnya tampak seperti drama romantis, sebelum berubah menjadi kisah menyeramkan tentang burung-burung yang menyerang manusia secara tak masuk akal. Film ini menjadi pelopor subgenre horor ekologis. Namun, di balik kesuksesannya, muncul tuduhan serius dari aktris utama, Tippi Hedren, yang mengaku mengalami pelecehan seksual dan psikologis dari Hitchcock selama produksi.

Kekerasan emosional yang dialami Hedren bukan hanya menjadi gosip industri, tapi telah dikonfirmasi dalam berbagai wawancara dan dokumenter. Hal ini memberikan nuansa mengganggu saat menonton kembali film tersebut, apalagi mengingat adegan serangan burung terhadap Hedren dilakukan berulang-ulang hingga ia benar-benar terluka.

Secara sinematik, film ini juga dianggap terlalu lambat oleh penonton modern dan tak memiliki penutupan cerita yang memuaskan. Kombinasi antara perlakuan tak manusiawi terhadap aktor dan gaya penceritaan yang usang membuat “The Birds” sulit dinikmati di era sekarang.

4. Children of the Corn (1984)

Berdasarkan cerita pendek karya Stephen King, Children of the Corn mengisahkan pasangan yang tersesat di sebuah kota kecil yang dikuasai oleh anak-anak pembunuh. Anak-anak tersebut membentuk sekte keagamaan ekstrem di bawah kendali entitas jahat yang disebut He Who Walks Behind the Rows. Film ini sebenarnya memiliki konsep menarik, menumbangkan anggapan bahwa anak-anak adalah simbol kepolosan.

Sayangnya, eksekusi film ini jauh dari sempurna. Efek visual yang buruk, perubahan cerita dari versi asli, serta akting yang kaku membuatnya sulit dinikmati. Alih-alih mencekam, banyak adegan yang justru memunculkan tawa tak disengaja karena dialog dan situasi yang aneh.

Franchise-nya terus berlanjut hingga puluhan sekuel dan reboot, tapi semuanya dianggap gagal menangkap potensi cerita aslinya. Karena kesan murahan dan pendekatan yang tak serius terhadap temanya, film ini kini lebih sering dijadikan bahan olok-olokan daripada ditonton sebagai film horor berkualitas.

5. Dracula (1931)

Dracula garapan Tod Browning dan dibintangi Bela Lugosi memang memiliki tempat tersendiri dalam sejarah horor. Film ini merupakan adaptasi resmi pertama dari novel Bram Stoker dan menjadi pelopor waralaba Universal Monsters. Namun, setelah hampir seabad berlalu, film ini terasa amat ketinggalan zaman.

Pacing yang sangat lambat dan ketiadaan musik latar membuat banyak adegan terasa membosankan atau canggung. Tak sedikit pula yang mengkritik dialognya yang datar serta karakter wanita yang digambarkan pasif dan tak memiliki kepribadian.

Meskipun penting secara historis, nilai hiburannya kini sudah menurun drastis. Banyak penggemar film horor masa kini merasa film ini lebih cocok menjadi studi sejarah ketimbang tontonan menegangkan. Bahkan ada yang menyebut film ini akan lebih baik jika dibuat sebagai film bisu, mengingat keheningannya yang terlalu panjang.

6. Cujo (1983)

Cujo bercerita tentang seekor anjing Saint Bernard yang terkena rabies dan meneror seorang ibu serta anaknya yang terjebak di dalam mobil rusak saat musim panas. Kisah ini lebih membumi dibandingkan kebanyakan film horor lain karena tidak melibatkan makhluk supranatural, hanya penyakit nyata dan kondisi alam.

Namun, justru karena realistisnya film ini menjadi sangat sulit untuk ditonton ulang. Melihat seorang anak kecil mengalami dehidrasi dan kejang secara perlahan sangat menyiksa, bahkan bagi penonton dewasa.

Banyak yang merasa simpati mendalam terhadap Cujo, karena ia bukan makhluk jahat, melainkan hanya seekor anjing baik yang jatuh sakit dan akhirnya dibunuh. Film ini tetap menjadi adaptasi yang kuat dari karya Stephen King, tetapi trauma emosional yang ditimbulkan menjadikannya sulit untuk dinikmati, apalagi oleh pencinta binatang dan orang tua.

7. Friday the 13th (1980)

Friday the 13th memperkenalkan Camp Crystal Lake dan legenda Jason Voorhees yang ikonik. Meski bukan film slasher pertama, film ini berkontribusi besar dalam membentuk tropes horor remaja tahun 1980-an. Karakter dibunuh satu per satu karena melakukan “dosa moral” seperti berhubungan seks atau menggunakan narkoba.

Namun, film ini dianggap punya pacing buruk dan terlalu bertele-tele. Adegan pembunuhan yang seharusnya menegangkan justru dipisahkan oleh momen tidak penting seperti pembuatan kopi. Roger Ebert bahkan menyebut film ini sebagai karya yang patut dicela.

Selain itu, adegan kekerasannya tak diimbangi dengan kedalaman karakter, membuatnya terasa seperti eksploitasi belaka. Meski punya warisan budaya besar, versi orisinal “Friday the 13th” kini lebih sering dianggap membosankan dan seksis dibandingkan horor berkualitas.

8. Rosemary’s Baby (1968)

Kisah Rosemary’s Baby mengikuti seorang wanita hamil bernama Rosemary yang perlahan menyadari bahwa tetangganya dan suaminya adalah bagian dari kultus pemuja setan. Film ini menggabungkan elemen psikologis dan horor okultisme dengan sangat cerdas, menciptakan atmosfer paranoia yang pekat.

Namun, banyak penonton modern merasa film ini terlalu lambat dan tidak menawarkan kepuasan emosional. Adegan pemerkosaan dan pengkhianatan dari orang-orang terdekat Rosemary terasa begitu menyakitkan dan membuat frustrasi.

Tidak adanya akhir bahagia, serta realitas pahit bahwa Rosemary kehilangan kendali atas tubuh dan hidupnya, membuat film ini sulit dinikmati, terutama oleh perempuan atau penonton yang pernah mengalami trauma serupa. Ditambah lagi reputasi buruk sang sutradara Roman Polanski yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual, film ini semakin dihindari.

9. The Shining (1980)

Adaptasi Stanley Kubrick dari novel Stephen King ini terkenal karena visualnya yang menawan dan akting Jack Nicholson yang ikonik. Namun, King sendiri membenci versi ini, menganggap karakter Jack terlalu jahat sejak awal dan Wendy terlalu pasif serta tak berdaya.

Banyak penonton modern mengkritik pacing film ini yang terlalu lambat dan minim kejutan nyata. Horornya bersifat psikologis dan simbolis, bukan yang instan dan eksplisit. Film ini lebih menekankan pada atmosfer dan simbolisme dibandingkan narasi yang jelas, yang bisa membingungkan atau membuat bosan sebagian penonton. Di balik segala pujian kritis, “The Shining” tetap menjadi film yang sulit dicerna dan terlalu berat bagi mereka yang mencari pengalaman horor yang langsung menggigit.

10. The Exorcist (1973)

The Exorcist sering dianggap sebagai film horor terseram sepanjang masa. Kisah tentang gadis kecil bernama Regan yang kerasukan iblis menyajikan adegan-adegan ekstrem, termasuk muntah hijau, kata-kata kasar, serta adegan kontroversial dengan salib.

Pada masanya, film ini memicu kepanikan massal, penonton pingsan, bahkan ada yang percaya mengalami kerasukan setelah menontonnya. Namun, bagi penonton masa kini, film ini terasa terlalu vulgar dan berlebihan.

Adegan medis panjang, transformasi fisik Regan, serta eksploitasi tubuh anak di bawah umur membuat film ini lebih terasa seperti trauma visual ketimbang pengalaman horor yang mendalam. Walaupun “The Exorcist” tetap penting secara budaya dan sinematik, banyak yang merasa tak perlu lagi menontonnya, apalagi jika tidak siap menghadapi pengalaman yang bisa meninggalkan bekas psikologis mendalam.

Tonton film horor klasik di sini

Jangan sampai ketinggalan update berita terbaru dan pembahasan unik soal film dan series hanya di BahasFilm.id.

Tinggalkan komentar